Puas belanja seperti biasa, bunda selalu mampir ke bakso pak kumis yang terletak di lantai 3 salah satu mall yang selalu ramai dikunjungi warga kota ini. Untung saja Ana tidak ikut, coba kalau anak itu ikut, sudah dapat dipastikan akan ada keributan kecil di pintu masuk restoran. Ana, dia adik kembaranku. Walau kami sudah sama-sama besar (lebih tepatnya sudah remaja), tapi selalu ada hal yang kami perdebatkan. Termasuk soal makan. Kalau sedang jalan-jalan di mall Ana selalu ingin mampir ke Shibuya, restoran masakan Jepang favoritnya. Sedangkan aku lebih suka makan bakso. Dan lagi pula, bakso pak kumis itu lebih murah ketimbang sushi atau ramen di Shibuya. Bakal bayar dua kali lipat, dan aku sangat tidak suka pemborosan.
Hari ini Ana sedang study tour ke Bali, lebih cepat 3 bulan dibanding SMA tempatku sekolah. Tapi tak apalah, masih ada cukup waktu untuk menabung. Akan lebih bangga rasanya bila bisa berbelanja dengan uang sendiri ketimbang dengan pemberian orang tua. Jadi karena aku berprinsip demikian, sudah sejak setahun lalu aku membeli barang-barang pribadi dengan tabunganku. Yaah, memang agak berbeda dengan si manja Ana. Dia menganggap semua kebutuhan dia adalah tanggung jawab orang tua (mentang-mentang kami orang berada).
Handphone bunda berdering.
“Halo, waalaikum salam sayang,” Pasti si manja, “ya kamu tanya sendiri saja.” Kata bunda sambil menyodorkan handphone-nya kepadaku.
“ya? Terserah kamu. Apah? Oh, ya sudah, aku titip arak bali.” Kataku tenang, bunda langsung mencubit pahaku. Jelas saja aku dicubit, pilihanku sangat tidak aturan. Arak Bali, alkohol dilarang keras oleh bunda tentunya. Sedangkan Ana, dia menjerit hingga suaranya melengking dan sangat memekakkan telinga. Huft, benar-benar alay. “Tidak usah pakai melengking begitu, bawakan saja aku makanan yang banyak.” Kemudian aku memutus sambungan.
“Ane, bisa gak sih kamu kalau bicara dipikir dulu?” kata Bunda.
Aku hanya diam sambil mengunyah.
“Ane, dengar Bunda?”
Kali ini aku berbicara menggunakan isyarat semampuku dengan menunjuk mulutku yang penuh dengan bakso kakap kesukaanku. Bunda langsung mengerti dan tak melanjutkan obrolan lagi sampai selesai makan.
.....
Sudah seharian ini sejak kepulangan Ana kemarin pacarku tak juga mengirim sms atau manelponku. Well, aku rasa tak ada hubungannya dengan kepulangan si manja itu. Tapi ini memang yang sedang terjadi. Mungkinkah Oryz sibuk mengerjakan tugas? Kalau iya, kenapa dia tak memberitahuku sebelumnya? Biasanya cowok manis itu selalu telepon dulu kalau ada perlu, tapi kali ini sama sekali tidak ada kabar. Atau mungkin dia sakit? Aduh bagaimana kalau dia sakit?!
Ya Tuhan! Seharusnya aku tidak boleh negatif thinking begini. Baiklah, mungkin hp Oryz sedang lowbat hingga tak dapat memberi kabar.
“Hooyy, bengong aja kamu.” Teriak Sanu membangunkan lamunanku. Dia satu-satunya sahabat yang aku percaya. Sudah sejak SMP kami berteman, dan sampai sekarang pun tak ada yang berubah dari dirinya. Masih tetap jahil dan cerewet.
“Apaan sih Nu, bikin jantung mau copot aja deh. Aku lagi mikirin Oryz nih, udah seharian ini gak sms. Bikin bete.”
“Daripada bete mending hang out yuk.”
“Kemana?”
“Cafe tanteku aja, baru dibuka kemarin. Tempatnya asik lho buat nongkrong.”
“Cuma berdua aja?”
“Terserah kalau kamu mau ngajak Ana.” Sanu mengangkat bahu.
“Idiiihhh, ogaaahhh.” Kataku sambil bangkit dari kursi balkon dan berlari ke dalam kamar. Seperti biasa, bak buntut Sanu langsung menyusulku. “Buruan cabut!” aku menggamit lengan gadis berrambut lurus sepinggang itu yang sedang berdiri di depan kaca meja riasku setelah aku selesai memasukkan dompet dan HP kedalam tas.
.....
Benar kata Sanu, tempat ini keren. Didesain khusus untuk tempat nongkrong anak muda. Gak heran sih, tante Amira (tantenya Sanu) kan paling jago desain ruangan, pastinya juga jago bisnis. Kami (aku dan Sanu) langsung disambut pelayan saat memasuki cafe. Aku memesan milkshake cokelat kesukaanku dan tiramisu.
Mengenai tiramisu, ada cerita romantis dibalik sejarah bagaimana bisa aku menggilai kue bercitarasa tinggi itu. Tiramisu menemani kencan pertamaku dengan Oryz. Waktu itu kami datang ke cafe yang cukup terkenal di kota ini, namanya D’MOCCA. Oryz memilihkanku tiramisu dan tentu saja milkshake cokelat. Sebelumnya aku tak pernah suka dengan tiramisu, dan Oryz tahu itu. Tapi dengan sengaja dia malah memesannya untukku. Beberapa menit kemudian setelah aku hanya mengaduk dan minum milkshake-ku, tiba-tiba Oryz mengambil sepotong kecil tiramisu itu dan menyatakan perasaannya.
“Kalau kamu mau jadi pacarku, ambil tiramisu ini dengam mulutmu dan segera kunyah. Dan kalau tidak mau, abaikan, minumlah milkshakemu itu.” Katanya dengan tatapan yang membuat lututku lemas. Ternyata oh ternyata, tiramisu tak seburuk yang aku bayangkan. Aku menerima cinta Oryz, di mencium punggung tanganku. Oh, rasanya seperti melayang. Biasanya aku menikmati tiramisu bersama Oryz tiap akhir pekan, tapi ini?
“Ane, itu!” Sanu mengagetkanku, tangan kanannya menjawil lenganku, sedangkan yang kiri menunjuk ke suatu arah.
“Apaan?!” mataku mengikuti arah telunjuk Sanu, dia menunjuk sepasang muda-mudi yang baru saja keluar cafe. “Oh itu, siapa mereka?” Tanyaku santai sambil kembali menekuni tiramisuku.
“Oryz atau bukan, ya?” Sanu menggaruk-garuk pelipisnya, bingung.
“Mungkin kamu salah lihat.” Aku berlagak tak peduli, meski dalam hati sebenarnya aku penasaran. Namun apakah aku harus penasaran dengan pemandangan yang barusan dilihat Sanu? Mengingat itu anak punya kelainan penglihatan.
“Mungkin.” Nadanya terdengar kecewa.
Senja di Almond Cafe terasa sangat berbeda dari cafe tempat biasa aku nongkrong, disini lebih ramai. Didukung letak cafe ini yang berada di atas bukit sehingga matahari terbenam terlihat jelas disini. Dan itu sangat indah.
.....
Ana benar-benar membawa banyak makanan dari Bali, jadi aku punya sesuatu yang bisa dikunyah agar tidak bosan saat menulis malam ini. Sepulang dari Almond Cafe, aku menyempatkan diri meneruskan cerpenku yang seharusnya selesai kemarin sore. Tapi karna bunda menyuruhku untuk menjemput Ana waktu itu, terpaksa harus ditunda.
Ponselku berdering.
“Halo, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam sayang.” Suara yang sangat kukenal.
“Aaahh Oryz, kemana saja kamu? Aku khawatir tahu.” Omelku.
“Maaf cantik, bagaimana kalau untuk menebus kesalahanku besok kita jalan-jalan kemana pun kamu mau setelah nonton.” Dia mulai mengeluarkan kata-kata pamungkas untuk meluluhkan hatiku.
“Ok, besok aku tagih janjimu.”
“Ya, sayang. Good night, have a nice dream.”
“Good night.”
Aneh, aku merasa ada yang aneh disini. Perasaanku tak keruan. Apa yang akan terjadi ya? Aku benar-benar bingung dengan semua ini. Apa mungkin Oryz selingkuh? Ugh, tidak Ane, kamu gak boleh seuzon dengan orang yang seharusnya kamu percayai. Aku segera mengingatkan diriku sendiri. Aku menshutdown laptop dan berangkat tidur.
.....
Acara kami hari ini nonton. Ada film baru, sebenarnya aku tidak terlalu suka nonton film di bioskop, aku lebih suka nonton dirumah sambil tiduran. Tapi karna terkadang aku bosan jika hanya jalan-jalan dan makan, makanya Oryz sesekali mengajakku nonton. Aku berangkat satu jam lebih awal, sebelum masuk Mall aku menyempatkan diri jalan-jalan di pinggir jalan. Ini pusat kota, jadi di trotoar sini banyak yang menjual cinderamata. Aku memilih sendirian menyusuri jalan trotoar ini karena Oryz tak pernah mau menemani aku. Gengsinya terlalu tunggi.
Tiba-tiba aku ditarik seorang perempuan yang kalau kulihat dari kerutan diwajahnya, usianya tak beda jauh dari Bunda, sekitar 40th. Pakaiannya besar menyapu tanah dengan sabuk di perutnya. Selendang berwarna hitam dengan motif bunga membalut kepala hingga menutup sebagian rambutnya. Lipstiknya ungu dan eyeshadow berwarna gelap, cukup menyeramkan. Dengan penampilan seperti ini dia terlihat seperti peramal.
“Siang nona.” Sapanya.
“Maaf membuatmu kaget, perkenalkan nama saya Madam Rizkha. Nama kamu siapa?”
“Saya Ane, Tante.” Kataku sambil menyalami Madam Rizkha. Tanganku tak kunjung dilepaskan olehnya, malah dibalik dan memperhatikan telapak tanganku.
“Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan pacarmu?” tanyanya tiba-tiba, benar kan dia peramal.
“Sekitar setengah tahun. Ada apa ya?”
“Sepertinya ada tanda-tanda cinta yang lain.” Spontan aku menarik tanganku, ini Tante bener-bener ngaco ngomongnya.
Tiba-tiba ada seseorang dibelakang yang menyeletuk, “Hey, jangan percaya perempuan gila itu!”
“Aku tidak gila!” teriak Madam Rizkha. Aku segera meninggalkan trotoar dan masuk ke dalam mall.
Oryz sudah sampai disana, dan kami langsung masuk begitu pintu theater dibuka. Parfumnya ganti, bukan seperti kesukaanku. Saat kutanya mengapa mengganti parfum, dia bilang ‘bosan’. Apa dia juga bosan denganku? Hah, tak pedulilah aku.
Selesai nonton, aku minta Oryz menemaniku ke kantor penerbit untuk menyerahkan cerpenku. Aku berharap mendapat keberuntungan kali ini, akan sangat bangga jika salah satu dari belasan cerpenku dimuat di majalah. Tapi Oryz tak mau mengantarku, jadi aku pergi sendiri saja. Hah, dia memang selalu banyak alasan ketika ku ajak ke toko buku atau perpustakaan. Tapi ada satu yang membuat aku kecewa terhadap Oryz hari ini, kemarin dia janji kami akan jalan-jalan kemana pun aku mau.
Ya sudahlah, aku tak mau ambil pusing, toh sejak dulu dia memang begitu. Pergi sendiri saja tak masalah buatku. Ponsel di saku jeans belelku bergetar, awalnya aku tak mempedulikan, paling juga sms. Tapi ponselku bergetar terus menerus, sepertinya telepon.
“Halo, Ane. Kamu dimana sayang?” Bundaku ternyata, suaranya terdengar menghisak dan panik.
“Di kantor penerbit Bunda, ada apa?”
“Ana kecelakaan, sekarang kritis di rumah sakit.” Tangis bunda semakin jelas terdengar sekarang.
Yang benar saja, sepertinya saat aku pergi tadi dia dirumah, dan kupikir tak ada rencana pergi. Tapi aku juga sedikit panik, dan hatiku merasakan sesuatu yang cukup ganjil. Perasaan itu semakin kuat saat aku tiba di rumah sakit. Di depan ruang UGD Aku melihat Ayah yang sedang menggenggam tangan Bunda, dan kak Disty juga ada disitu(kak Disty itu kakak kandung Oryz). Apa?! Kak Disty. Aku mulai waspada, jangan-jangan Oryz juga kecelakaan. Aku gak boleh negatif thinking.
“Ane bagaimana, Yah?” tanyaku pada Ayah.
“Kritis, kecelakaannya cukup parah. Mobil yang dinaiki Ane menabrak trotoar pembatas jalan.” Jawab Ayah. Sedangkan Bunda yang ada disampingnya masih saja menangis.
“Tenang Bunda, sholat dulu yuk, kita berdoa bersama.” Ajakku.
Pintu UGD terbuka dan muncul seorang dokter.
“Keluarga saudari Ana?” tanyanya pada Ayah.
“Benar pak, bagaimana anak saya?” Jawab Bunda panik.
“Ana menga;ami keretakan di pergelangan kaki, namun ada satu penyakit yang harus segera ditangani.”
“Apa itu dok?” tanya Ayah.
“Ginjal Ana bermasalah. Apa sebelumnya dia tak memberitahu keluarga pak?” hah? Sejak kapan Ginjal Ana bermasalah sampai sepertinya sudah sangat parah?
“Belum, kami tidak tahu apa-apa pak.”
“Mari bicara diruangan saya.” Ajak dokter, aku tak ikut dan malah menghampiri kak Disty, aku penasaran siapa yang dia tunggui.
Wajahnya yang putih kini memucat, disertai mata yang merah dan sembab. Sepertinya kak Disty belum lama berhenti menangis. “Kakak kenapa? Siapa yang sakit?” tanyaku. Bukannya menjawab, kak Disty malah berdiri, menatapku sebentar lalu memelukku erat sekali dan menangis sesenggukan. Aku hanya diam. Tak ingin berkata apa-apa sampai kak Disty merasa tenang.
“Oryz, An, dia kecelakaan mobil sama Ana,” kak Disty mulai buka mulut, “Aku pikir dia sama kamu, tapi bunda kamu bilang itu Ana.” Lanjut kak Disty. Apa? Kenapa dia bisa sama Ana sih? Aku mulai bingung, gelisah, dan gak tenang. Kemudian slide-slide kejadian beberapa hari yang lalu mulai berputar-putar dalam otakku. Ada sesuatu yang gak beres antara Ana dan Oryz.
“Trus Oryz gimana?”
“Tangannya patah dan yang lebih parahnya lagi dia gagar otak.” Hah? Gagar otak? Yang benar saja. Tidak terasa aku mulai sedih, pertama Ana yang selama ini menyembunyikan sakitnya, kedua keadaan Oryz yang parah. Air mata merembes dan mengalir, segera aku berlari ke kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya disana. Aku gak mungkin menangis seperti ini di depan kak Disty yang sebegitu sedihnya.
.....
Milkshake ditangan sudah gak mampu menenangkan hatiku yang super gelisah. Oryz belum sadar, sejak kecelakaan kemarin sehingga dia koma sampai sekarang. Dan Ane, dia harus segera mendapat donor ginjal. Oh Tuhan! Bunda tak mungkin bisa jadi donor, walaupun ginjalnya cocok, tapi kami sekeluarga tak ingin ambil resiko kehilangan Bunda karna saat ini tensinya sedang naik. Satu-satunya harapan cuma aku. Sekarang aku sedang menunggu hasil tes laboratorium di kafetaria rumah sakit bersama Sanu.
“Diminum dong, dari tadi cuma diaduk-aduk gitu, kasihan tuh es batunya jadi puyeng gara-gara kamu puter-puter terus.” Komentar Sanu dengan mulut penuh mie ayam. Aku hanya diam tak merespon. Tiba-tiba datang kak Disty.
“Oryz sudah sadar An!” Katanya girang. “sekarang lagi diperiksa dokter.”
“Alhamdulillah, aku boleh tengok dia kak?”
“Iya, ayo.” Ajaknya semangat.
Dan, woow! Kejutankah yang ada di depan mataku? Aku melihat Ana memeluk dan menciumi pipi Oryz sambil menangis. Oryz pasti salah orang, sadar donk, dia Ana, bukan Ane. Ya Tuhan, rasa sakit ini gak bisa aku pungkiri. Kuhampiri saja mereka.
“Oryz, dia itu Ana, apa kamu udah tidak bisa membedakan antara aku dengan Ana?” kataku setengah terhisak. Tenggorokanku terasa sakit karena sedikit memaksa untuk bicara dalam tangis. Ane terlihat kaget dan kebingungan, dan salah tingkah, dan apalah itu. Tak beda dengan Oryz.
Sekarang aku mengerti kejadian beberapa waktu lalu. Tak ada kabar dari Oryz sehari setelah Ana pulang dari Bali, ramalan Madam Rizkha. Alasan terakhir Oryz kemarin sebelum kecelakaan. Sepasang muda mudi yang dilihat Sanu di Almond Cafe. Dan aroma parfum yang digunakan saat terakhir kali kami nonton tidak seperti aroma parfum kesukaanku. Perasaan ganjil yang aku rasakan juga semakin jelas terlihat sekarang. Aku gak menyangka kalau yang menghianati aku ternyata adikku sendiri, lebih tepatnya kembaranku. Oryz bukannya sudah tidak bisa membedakan antara aku dan Ana, tapi dia memang sudah pindah hati. Dia lebih tertarik pada Ana karena dia lebih centil dan manja. Tapi dia sebenarnya juga tidak bisa pergi dariku karena ada sesuatu dalam diriku yang tidak dimiliki Ana. Dan Ana sendiri sudah terlanjur jatuh hati pada kekasihku. Sungguh lancang, tidak tahu diri. Aku mengetahui ini dari kak Disty.
Bunda datang menyusulku ke taman dengan membawa amplop cokelat besar. Awalnya aku tak begitu mempedulikannya, ku pikir itu hasil rontgen Ana.
“Sudah makan?” tanya Bunda basa-basi.
“Sudahlah Bunda, bilang saja langsung.”
“Ini hasil tes lab kamu. Ginjalnya cocok, jadi apa kamu bersedia menolong adikmu?” Duaaarrr, aku seperti tersambar petir di siang bolong. Ane telah menghianati aku, bagaimana bisa aku..., oh Tuhan, haruskah aku..?!
Setelah menyakitiku, pantaskah dia mendapat donor ginjal dariku? Aku belum bisa mempercayai kejadian kemarin siang di rumah sakit. Ana memeluk Oryz dengan begitu mesra. Hatiku masih belum bisa menerimanya.
Gelisah, itu yang sedang aku rasakan. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku menyayangi Ana dan ingin dia segera sembuh dengan memberikan satu dari dua ginjalku untuknya. Tapi sakit hati yang teramat sangat ini yang membuatku belum ikhlas. Selama dua hari aku menghindar dari rumah sakit serta keluarga. Sahabatku saja tak lagi kupedulikan saat ini. Aku hanya ingin sendiri. Ini pilihan yang terberat selama hidupku.
Sekarang aku berada di perpustakaan, berharap menemukan sesuatu yang sanggup memberikan solusi. Pada sebuah buku bersampul ungu dengan gambar seorang wanita cantik berjilbab inilah konsentrasiku sedang tertuju. Menurut sinopsis yang ada di sampul belakang, buku ini berisi tentang cara menghadapi kegelisahan beserta solusinya.
Oh, begitu caranya. Pikirku setelah menyelesaikan satu dari sekian banyak pembahasan dalam buku ini. Aku harus mendengarkan kata hatiku. Aku harus melawan bujuk rayu setan yang tak ingin aku berbagi ginjal dengan saudara kembarku.
Aku berjalan dengan setengah berlari menuju ruang dimana Ana dirawat. Sampai disana kosong, Ana kemana? Pikirku panik. Lalu aku melihat tante Sofi di lorong sebelah saat aku keluar dari kamar perawatan Ana. Aku mengikuti kemana arah tujuan tante Sofi. Ruang operasi? Aku sempat bingung, ada ayah, tante Sofi dan Tania, anak tante Sofi.
“Ana mana, yah?” tanyaku pada ayah.
“Ada di dalam, operasi akan segera dimulai.” Jawabnya, ayah terlihat pasrah sepasrah-pasrahnya. Sedangkan aku semakin bingung.
“Lho? Siapa pendonornya?”
“Bunda.”
“APA?! BUNDA?” aku menyadari bola mataku yang membesar, mungkin nyaris akan lompat dari tempatnya.
Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Bunda. Resikonya sangat besar sekali. Aku gak sanggup kehilangan Bunda. Kenapa Bunda nekat sekali. Aku tahu Ana mungkin beberapa saat yang lalu sedang kritis dan sangat membutuhkan pertolongan, sehingga operasi transplantasi ginjalnya dipercepat. Dan Bunda pasti khawatir.
.....
Sayup-sayup aku mendengar suara Bunda dan Ayah. Tapi dimana mereka? Rasanya sangat sulit sekali mencari keberadaan mereka dalam gelap. Tiba-tiba aku merasakan telapak tangan yang hangat dan besar menggenggam telapak tanganku. Dan telapak lainnya membelai keningku. Perlahan-lahan kubuka mata, ada Arya, sepupuku yang paling dekat denganku namun dia tinggal sangat jauh dari kami. Dia pindah ke pulau seberang tahun lalu. Dia seperti terkejut, sesaat kemudian dia memanggil Ayah dan Bunda. Wajah mereka terlihat sumringah.
“Ada apa? Kok senyum-senyum gitu?” tanyaku.
“Operasinya berhasil.” Jawab Bunda sembari memelukku. Oh ya, aku ingat!
“Ini hari apa sih?” Tanyaku lagi.
“Ini hari rabu sayang.” Kali ini ayah yang menjawab. Berarti operasi itu berlangsung kemarin. Waktu itu aku berusaha menggagalkan niat bunda untuk menjalani operasi, dan meminta dokter untuk mengganti bunda dengan aku. Dengan keyakinan penuh dan pasrah pada Tuhan aku berbaring di dalam ruang itu.
“Sudah berapa lama aku tidur?” seisi ruangan tertawa. Memangnya pertanyaanku ini lucu?
“Sekitar...” Ayah menghitung dengan jari, “lima belas jam.”
“Kamu ini tidur atau hibernasi?” Ledek Arya, tawa kembali.
“Ana mana, yah?”
“Masih belum sadar.” Jawab Ayah sambil melirik ke arah samping. Ternyata kami ditempatkan di satu kamar. Aku tidak sabar menunggu Ana bangun. Terlambat aku menyadari bahwa aku merasakan kedamaian dalam hatiku. Tenang dan indah.
Namun satu hal yang membuat aku sedih, Oryz tak dapat bertahan. Dia meninggal beberapa jam setelah operasi yang aku dan Ana jalani kemarin. Aku tak sempat melihat wajahnya untuk yang terakhir kali. Aku tahu berita duka ini dari Arya, dia sempat bertemu kak Disty di lorong dekat ruang administrasi saat Arya dalam perjalanan menuju kamar rawatku dan Ana.
Tak apa, yang terpenting sekarang kesembuhan Ana. Tanpa resiko kehilangan Bunda. Walaupun manja, centil, dan egois. Tapi Ana tetap saudaraku. Andine Santi Setiandaru (Ane) & Andina Sita Setiandaru (Ana).
Semarang, 28 Februari 2012

Tidak ada komentar:
Posting Komentar